Dituduh Kliennya Cabuli Jemaatnya Sendiri, Pengacara Pendeta di Surabaya Ini Emosi |
Sidang secara daring (online) tersebut digelar di ruang Candra Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Empat saksi dari korban itu dihadirkan oleh JPU Kejati Jatim, yakni Rista Erna dan Sabetina R. Paembonan.
Edden, selaku juru bicara korban IW mengaku selain 4 saksi ini, pihaknya telah menyiapkan 8 orang saksi lainnya untuk sidang selanjutnya.
"8 orang saksi selanjutnya ini pernah mendengar HL mengakui tindakan pencabulannya terhadap IW," kata Edden kepada wartawan di PN Surabaya, Jum'at (3/7/2020).
Masih kata Edden, pengakuan (HL) itu didengar saksi dalam rapat majelis Gereja HFC. Dari hasil rapat majelis tersebut juga tertuanh dalam notulen, yang sekarang sudah dipegang JPU untuk dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalam persidangan.
“Karena IW ini pertama kali melaporkan kejadian ini pada seorang pendeta di Jakarta dan pendeta di Surabaya. Mereka nanti juga dihadirkan dalam sidang,” ujar Eden.
Diterangkan Eden, bertolak dalam peraturan dari Departemen Agama, ketika seorang ketua Sinode atau seorang gembala, pendeta jemaat dia terkait dengan kasus pidana, maka dia harus turun, tidak boleh lagi menjadi pendeta, tidak boleh menjadi ketua Sinode, itu adalah peraturan.
“Hukum gereja harus taat dengan hukum pemerintah. Pendeta, sebagai seorang pemimpin jemaat harus tunduk dengan peraturan pemerintah,” terang Eden.
Sedangkan kuasa hukum terdakwa HL, Abdulrachman Saleh tersulut emosi atas tuduhan yang dilontarkan dari pihak korban IW terhadap kliennya, yaitu melakukan tindak pidana pencabulan.
“Orang lain dilarang mengungkapkan hal-hal diluar persidangan. itu prisip hukum. Apa yang terungkap di persidangan ini tidak boleh diungkap diluar persidangan. Hakim tadi menegaskan ini persidangan tertutup. Namanya sidang tertutup, orang lain tidak boleh tahu,” katanya usai sidang.
Pernyataan itu dilontarkan Abdulrachman setelah ia mendengar bahwa pihak korban di sidang HL ini berbicara materi perkara persidangan ke publik.
“Kita menghormati prosedur proses hukum yang muncul dipersidangan. Ini etika persidangan. Kalau mengumbar semua fakta diluar persidangan itu namanya penghinaan terhadap pengadilan. Itu prinsip hukum. Kita punya etika dan moral,” sambungnya.
Lebih lanjut, Abdulrachman mengatakan berdasarkan etika pengacara dirinya tidak boleh menilai sisi jelek atau sisi baik dari persidangan ini.
Namun yang subtansi dalam persidangan tadi sambung Abdulrachman, terungkap bahwa terdakwa HL tidak pernah melakukan pencabulan atau pelecehan seksual terhadap IW.
“Itu terungkap ketika para saksi tadi saya tanyakan, apakah pengakuan tersebut terkait dengan pencabulan. Semua saksi mengatakan tidak. Saksi mengatakan itu bukan pencabulan,” lanjut Abdulrachman.
Pada awak media Abdulrachman juga mengatakan bahwa dalam persidangan tadi juga sempat diputar video rekaman ‘katanya’ berisi pengakuan HL yang sudah melakukan pencabulan atau pelecehan seksual.
“Pengakuan itu sempat direkam, katanya begini..begini..ada pencabulan, begini..begini..khan muncul diluar seolah HL sudah mengakui. Tadi videonya diputar. Ternyata tidak satu kata pun terlontar bahwa terdakwa sudah melakukan pelecehan seksual. Dan ketika itu saya konfrontir dengan salah satu saksi, apakah keterangan tersebut berupa pengakuan HL terhadap korban,? Saksi menjawab tidak,” katanya.
Diakhir wawancaranya, Abdulrachman Saleh berharap agar para pihak yang terlibat dalam persoalan ini agar tidak menjustifikasi seseorang sebelum diketok palu oleh proses peradilan.
“Asas praduga tidak bersalah harus kita hormati. Jangan menjustifikasi seseorang sebelum diketok palu persidangan. Normatifnya, kalau orang tidak mendengar, tidak melihat, mendengar cerita dari orang lain. Itu bukan sebuah nilai pembuktian hukum,” pungkasnya. (Ady)