Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. (Foto/Istimewa) |
Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan undang-undang yang akan
direvisi secara bersama di antaranya mengenai pengalihan hak kepemilikan suatu
benda atau fidusia, kepailitian, insolvensi, pengaturan status Perusahaan
Terbuka (PT), hingga akses pembiayaan atau kredit.
"Kalau
satu per satu (direvisi) agak berat, jadi kami sudah berpikir untuk mengubah UU
secara sekaligus atau omnibus law," ucap Yasonna usai menghadiri Sidang
Pleno Laporan Tahunan Mahkamah Agung di JCC, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu
(27/2).
Meski
begitu, Yasonna melihat omnibus law baru bisa dilakukan usai kontestasi politik
dalam rangka pemilihan presiden dan legislatif. Sebab, pemerintah perlu lebih
dulu mendiskusikan rencana tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun,
menurutnya, pembahasan baru efektif usai pemilihan umum (Pemilu) karena
beberapa anggota DPR yang kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
masih sibuk kampanye hingga hari H pencoblosan. Ia memperkirakan pembahasan
baru bisa dilakukan pada akhir April 2019.
"DPR
kan masih juga banyak teman-teman yang berkonsentrasi (dengan Pemilu). Jadi
sebaiknya setelah Pemilu saja," katanya.
Lebih
lanjut, lantaran pembahasan baru dilakukan pada akhir April 2019, Yasonna
tampak cukup pesimistis langkah omnibus law akan langsung berdampak pada
pembenahan kemudahan berusaha di Tanah Air dan kenaikan peringkat EoDB.
Pasalnya,
menurut jadwal Bank Dunia, perwakilan tim penilaian EoDB biasanya akan datang ke
Indonesia setiap bulan Juni. Setelah itu, hasilnya akan diolah dan disampaikan
pada Agustus. Setelah itu, perwakilan Bank Dunia memberi kesempatan klarifikasi
kepada Indonesia dan hasil penilaian akhir diumumkan pada bulan
Oktober-November.
"Jadi
kalau itu tidak keburu. Tapi yang sekarang ada beberapa kebijakan tanpa
menunggu itu ya kami lakukan saja dulu," terangnya.
Kendati
begitu, Yasonna berharap kenaikan peringkat EoDB tetap bisa dirasakan Indonesia
melalui reformasi perizinan yang sudah dilakukan sebelumnya. Salah satunya
dengan sistem perizinan terintegrasi dalam jaringan (Online Single
Submission/OSS).
Pada awal
pemerintahan Kabinet Kerja, Jokowi menargetkan peringkat kemudahan berusaha
Indonesia bisa menempati posisi 40 besar pada 2019. Pada 2014, Indonesia berada
di peringkat 114 setelah naik 8 peringkat dari 2013 di 122.
Pada 2015,
Indonesia naik peringkat ke 106 dan menanjak lagi ke peringkat 91 pada 2016.
Lalu, kemudahan berusaha di Tanah Air kembali meningkat menjadi peringkat ke 72
pada 2017. Namun, pada tahun lalu justru turun satu peringkat ke 73 pada 2018. (CNN Indonesia)